Abdul Ghoffar (35) baru beberapa bulan bekerja di Queen Victoria Market,
 Melbourne. Warga asal Jakarta ini bekerja cukup keras di pasar 
tersebut.
"Ini casual job, istri saya yang sekolah, 
saya turis, turut istri," kata Ghoffar kala berbincang dengan jurnalis 
Indonesia di Queen Victoria Market pada akhir September 2015 lalu.
Luar
 biasa pengorbanan Ghoffar mendukung pendidikan istrinya, Weni Muniarti 
(34), yang sedang mengambil master di bidang kesehatan masyarakat di 
Universitas Melbourne atas beasiswa Pemerintah  Australia.
Sampai-sampai
 PNS yang bekerja sebagai staf ahli hakim di suatu lembaga peradilan di 
kawasan Jakarta Pusat ini harus mengambil cuti di luar tanggungan 
negara. Dari yang tadinya menjadi orang kantoran kini harus bekerja di 
lapangan.
"Saya kerja di Indonesia, tiap hari cuma duduk menulis, 
mengetik dan lain-lain. Di sini kita harus kerja keras, seperti kuli. 
Istilah teman-teman, kuli panggul, dari pagi jam 6 pagi sudah mulai," 
ungkap sarjana hukum Universitas Airlangga dan master hukum tata negara 
dari Universitas Indonesia ini.
Setiap hari, Ghoffar yang bekerja 
di Queen Victoria Market sejak Mei 2015 lalu ini sudah harus hadir di 
pasar pukul 06.00 untuk menata kios suvenir kaos-jaket yang dijaganya. 
Menata kios dibutuhkan waktu 3 jam hingga pukul 09.00. Normalnya pasar buka pukul 08.00, namun kadang stan belum siap.
"Ini
 tutupnya jam 15.30 kalau hari Minggu, lebih lama. Senin-Kamis pukul 
14.00, Sabtu tutup pukul 15.00. Setelah tutup tak langsung bisa pulang 
melainkan harus membereskan dulu. Ini butuh waktu 2-2,5 jam, selesainya 
magrib. Jadi bisa 12 jam. Luar biasa tantangannya," tutur Ghoffar.
Pangsa pasar
Di pasar tradisional yang menjual sayur-mayur, daging hingga suvenir ini, Ghoffar punya kesan sendiri. 
Dia menuturkan, kaos dan jaket yang dijual mulai harga AU$5 (Rp 50.000), mayoritas pembelinya adalah orang Indonesia.
"Yang
 unik, di sini pangsa pasar terbesarnya dari Indonesia, saya juga heran.
 Jaket-jaket ini pangsa pasarnya dari Indonesia," kata Goffar.
"Misalnya
 orang dari Eropa beli cuma 1-2, Indonesia bisa 30 biji. Memang 
dibagi-bagikan, itu saya kira kultur ya. Brunei nggak terlalu,  Filipina,  Malaysia,  Singapura, cuma itu, terbanyak Indonesia," lanjut dia.
Kalau sepi, kata Goffar, karena tidak banyak orang Indonesia dan  Malaysia yang banyak beli. 
"Meski banyak orang yang ke sini tapi belinya cuma satu atau dua," cerita Ghoffar sambil terkekeh.
Gaji Rp 24 juta
Berdagang di Queen Victoria Market, menurutnya, juga cukup mahal. Bosnya, seorang warga  Australia dari Kamboja keturunan Tionghoa, sudah 4 tahun berjualan di pasar tradisional itu.
Selain
 membeli lapak yang menurut Ghoffar mencapai ribuan dollar, ada pula 
biaya sewa lapak yang AU$ 120 per hari, plus gaji pegawai. Pengeluaran 
sang bos bisa mencapai AU$ 1.500 (Rp 15 juta) per minggu. 
Sedangkan
 pendapatan, rata-rata AU$ 1.500 per hari, namun bila pembeli ramai bisa
 mencapai AU$1.700-2.000 (Rp 17 juta-Rp 20 juta).
Ghoffar dalam 
sebulan bekerja selama 20 hari dengan gaji per jam AU$10, sehingga total
 pendapatan dia bekerja di Queen Victoria Market per bulan adalah 
AU$2.400 (Rp 24 juta).
"Selain kerja di VicMart, kalau badan nggak capek, juga kerja nge-roll koran. Biasanya seminggu 3 hari, rata-rata kerja sehari 2 jam. Selain nge-roll koran juga kerja di warehouse (gudang). Dari kerjaan itu kalau ditotal semua kurang lebih AU$3.000 (Rp 30 juta)," ungkap Ghoffar.
Gaji Rp 30 juta itu sekilas cukup besar untuk standar Jakarta. Namun, ini di Melbourne, di mana biaya hidupnya lebih tinggi. 
Biaya hidup
Ghoffar dan istri harus menanggung biaya 2 anak balita mereka, Einar (4) dan Kiral (2) yang dititipkan di daycare dengan biaya AU$101 (Rp1 juta) per anak per hari.
Namun karena sang istri mendapatkan beasiswa pemerintah  Australia, maka setelah 6 bulan bermukim di Melbourne, mendapatkan subsidi child care benefit dan child care rebate sehingga dari yang tadinya harus membayar AU$101 per anak per hari menjadi AU$60 (Rp 600.000).
Belum
 lagi biaya makan untuk ukuran paling sederhana AU$10 per orang setiap 
kali makan, dan biaya transportasi AU$7 per orang. Dan uang sewa rumah 
sebulan AU$1.040 (sekitar Rp10 juta). Bila ditotal, biaya hidup yang 
harus dikeluarkan keluarga Ghoffar sekitar AU$4.000-an sebulan (sekitar 
Rp 40 juta).
"Mengapa sampai melakukan itu, artinya kerja 
habis-habisan? Karena biaya hidup di sini tinggi sekali," tutur pria 
berkaca mata ini.
Meski sudah berlelah-lelah mencari nafkah 
sehari-harinya, Ghoffar, seperti halnya sang istri, juga tak lelah untuk
 terus belajar. 
Ghoffar mengakui tanpa gengsi bahwa bahasa 
Inggrisnya belum mumpuni. Untuk itu, dia menyempatkan diri untuk 
mengambil kursus bahasa  Inggris agar mudah dalam berkomunikasi sehari-hari.
"Di sela-sela kuli pasar masih ngambil kelas  Inggris," tandas dia.
Selalu semangat, Ghoffar!
Sumber : Kompas 




